Senin, 19 Januari 2009

SANDAL JEPIT YANG TERHORMAT

Disebuah toko sepatu di kawasan perbelanjaan termewah di sebuah kota ,
nampak di etalase sebuah sepatu dengan anggun diterangi oleh lampu
yang indah. Dari tadi dia nampak jumawa dengan posisinya, sesekali dia
menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memamerkan kemolekan designnya, haknya
yang tinggi dengan warna coklat tua semakin menambah kemolekan yang
dimilikinya.


Pada saat jam istirahat, seorang pramuniaga yang akan makan siang
meletakkan sepasang sandal jepit tidak jauh dari letak sang sepatu.
“Hai sandal jepit, sial sekali nasib kamu, diciptakan sekali saja dalam
bentuk buruk dan tidak menarik”, sergah sang sepatu dengan nada
congkak.


Sandal jepit hanya terdiam dan melemparkan sebuah senyum persahabatan.
“Apa menariknya menjadi sandal jepit ?, tidak ada kebanggaan bagi para
pemakainya, tidak pernah mendapatkan tempat penyimpanan yang istimewa,
dan tidak pernah disesali pada saat hilang, kasihan sekali kamu”, ujar
sang sepatu dengan nada yang semakin tinggi dan bertambah sinis.
Sandal jepit menarik nafas panjang, sambil menatap sang sepatu dengan
tatapan lembut, dia berkata
“Wahai sepatu yang terhormat, mungkin semua orang akan memiliki
kebanggaan jika memakai sepatu yang indah dan mewah sepertimu. Mereka akan
menyimpannya di tempat yang terjaga, membersihkannya meskipun masih
bersih, bahkan sekali-sekali memamerkan kepada sanak keluarga maupun tetangga
yang berkunjung ke rumahnya”. Sandal jepit berhenti berbicara sejenak
dan membiarkan sang sepatu menikmati pujiannya.


“Tetapi sepatu yang terhormat, kamu hanya menemaninya di didalam
kesemuan, pergi ke kantor maupun ke undangan-undangan pesta untuk sekedar
sebuah kebanggaan. Kamu hanya dipakai sesekali saja. Bedakan dengan aku.
Aku siap menemani kemana saja pemakaiku pergi, bahkan aku sangat loyal
meski dipakai ke toilet ataupun kamar mandi. Aku memunculkan kerinduan
bagi pemakaiku. Setelah dia seharian dalam cengkeraman keindahanmu, maka
manusia akan segera merindukanku. Karena apa wahai sepatu?. Karena aku
memunculkan kenyamanan dan kelonggaran. Aku tidak membutuhkan
perhatian dan perawatan yang spesial. Dalam kamus kehidupanku, jika kita ingin
membuat orang bahagia maka kita harus menciptakan kenyamanan untuknya”,
Sandal jepit berkata dengan antusias dan membiarkan sang sepatu terpana.


“Sepatu ! Sahabatku yang terhormat, untuk apa kehebatan kalau sekedar
untuk dipamerkan dan menimbulkan efek ketakutan untuk kehilangan. Untuk
apa kepandaian dikeluarkan hanya untuk sekedar mendapatkan kekaguman.”
Sepatu mulai tersihir oleh ucapan sandal jepit.
“Tapi bukankah menyenangkan jika kita dikagumi banyak orang”, jawab
sepatu mencoba mencari pembenar atas posisinya.
Sandal jepit tersenyum dengan bijak “Sahabatku! ditengah kekaguman
sesungguhnya kita sedang menciptakan tembok pembeda yang tebal, semakin
kita ingin dikagumi maka sesungguhnya kita sedang membangun temboknya”


Dari pintu toko nampak sang pramuniaga tergesa-gesa mengambil sandal
jepit karena ingin bersegera mengambil air wudhu. Sambil tersenyum
bahagia sandal jepit berbisik kepada sang sepatu
“Lihat sahabatku, bahkan untuk berbuat kebaikanpun manusia mengajakku
dan meninggalkanmu”


Sepatu menatap kepergian sandal jepit ke mushola dengan penuh kekaguman
seraya berbisik perlahan “Terima kasih, engkau telah memberikan
pelajaran yang berharga sahabatku, sandal jepit yang terhormat”.

Shi Sang Chi You Mama Hau

Ada sepasang kekasih yang saling mencintai. Sang pria berasal dari keluarga kaya, dan merupakan orang yang terpandang di kota tersebut. Sedangkan sang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba kekurangan, tetapi cantik, lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan inilah yang membuat sang pria jatuh hati.

Sang wanita hamil di luar nikah. Sang pria lalu mengajaknya menikah, dengan membawa sang wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka duga, orang tua sang pria tidak menyukai wanita tersebut. Sebagai orang yang terpandang di kota tersebut, latar belakang wanita tersebut akan merusak reputasi keluarga. Sebaliknya, mereka bahkan telah mencarikan jodoh yang sepadan untuk anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang tuanya, bahwa ia sudah menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi dia.

Sang wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria menyakinkan wanita tersebut bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus berargumen dengan orang tuanya, bahkan membantah perkataan orangtuanya, sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu, umumnya seorang anak sangat tunduk pada orang tuanya).

Sebulan telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk orang tuanya agar menerima calon istrinya. Sang orang tua juga stress karena gagal membujuk anak satu-satunya, agar berpisah dengan wanita tersebut, yang menurut mereka akan sangat merugikan masa depannya.

Sang pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kawin lari. Ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya demi sang kekasih. Waktu keberangkatan pun ditetapkan, tetapi rupanya rencana ini diketahui oleh orang tua sang pria. Maka ketika saatnya tiba, sang ortu mengunci anaknya di dalam kamar dan dijaga ketat oleh para bawahan di rumahnya yang besar.

Sebagai gantinya, kedua orang tua datang ke tempat yang telah ditentukan sepasang kekasih tersebut untuk melarikan diri. Sang wanita sangat terkejut dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka kemudian memohon pengertian dari sang wanita, agar meninggalkan anak mereka satu-satunya.

Menurut mereka, dengan perbedaan status sosial yang sangat besar, perkawinan mereka hanya akan menjadi gunjingan seluruh penduduk kota, reputasi anaknya akan tercemar, orang-orang tidak akan menghormatinya lagi. Akibatnya, bisnis yang akan diwariskan kepada anak mereka akan bangkrut secara perlahan-lahan.

Mereka bahkan memberikan uang dalam jumlah banyak, dengan permohonan agar wanita tersebut meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan anaknya lagi, dan menggugurkan kandungannya. Uang tersebut dapat digunakan untuk membiayai hidupnya di tempat lain.

Sang wanita menangis tersedu-sedu. Dalam hati kecilnya, ia sadar bahwa perbedaan status sosial yang sangat jauh, akan menimbulkan banyak kesulitan bagi kekasihnya. Akhirnya, ia setuju untuk meninggalkan kota ini, tetapi menolak untuk menerima uang tersebut. Ia mencintai sang pria, bukan uangnya. Walaupun ia sepenuhnya sadar, jalan hidupnya ke depan akan sangat sulit.

Ibu sang pria kembali memohon kepada wanita tersebut untuk meninggalkan sepucuk surat kepada mereka, yang menyatakan bahwa ia memilih berpisah dengan sang pria. Ibu sang pria kuatir anaknya akan terus mencari kekasihnya, dan tidak mau meneruskan usaha orang tuanya.

“Walaupun ia kelak bukan suamimu, bukankah Anda ingin melihatnya sebagai seseorang yang berhasil? Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua”, kata sang ibu.

Dengan berat hati, sang wanita menulis surat. Ia menjelaskan bahwa ia sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa keberadaannya hanya akan merugikan sang pria. Ia minta maaf karena telah melanggar janji setia mereka berdua, bahwa mereka akan selalu bersama dalam menghadapi penolakan-penolakan akibat perbedaan status sosial mereka. Ia tidak kuat lagi menahan penderitaan ini, dan memutuskan untuk berpisah. Tetesan air mata sang wanita tampak membasahi surat tersebut.

Sang wanita yang malang tersebut tampak tidak punya pilihan lain. Ia terjebak antara moral dan cintanya. Sang wanita segera meninggalkan kota itu, sendirian. Ia menuju sebuah desa yang lebih terpencil. Disana, ia bertekad untuk melahirkan dan membesarkan anaknya.

Tiga tahun telah berlalu. Ternyata wanita tersebut telah menjadi seorang ibu. Anaknya seorang laki-laki. Sang ibu bekerja keras siang dan malam, untuk membiayai kehidupan mereka. Di pagi dan siang hari, ia bekerja di sebuah industri rumah tangga, malamnya, ia menyuci pakaian-pakaian tetangga dan menyulam sesuai dengan pesanan pelanggan. Kebanyakan ia melakukan semua pekerjaan ini sambil menggendong anak di punggungnya. Walaupun ia cukup berpendidikan, ia menyadari bahwa pekerjaan lain tidak memungkinkan, karena ia harus berada di sisi anaknya setiap saat. Tetapi sang ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya.

Di usia tiga tahun, suatu saat, sang anak tiba-tiba sakit keras. Demamnya sangat tinggi. Ia segera dibawa ke rumah sakit setempat. Anak tersebut harus menginap di rumah sakit selama beberapa hari. Biaya pengobatan telah menguras habis seluruh tabungan dari hasil kerja kerasnya selama ini, dan itupun belum cukup. Ibu tersebut akhirnya juga meminjam ke sana-sini, kepada siapapun yang bermurah hati untuk memberikan pinjaman.

Saat diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan untuk membuat sup ramuan, untuk mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan tersebut terdiri dari obat-obat herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama. Tetapi sang ibu hanya mampu membeli obat-obat herbal tersebut, ia tidak punya uang sepeserpun lagi untuk membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya tak mungkin, karena ia telah berutang kepada semua orang yang ia kenal, dan belum terbayar.

Ketika di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak tahu harus berbuat apa, untuk mendapatkan daging. Toko daging di desa tersebut telah menolak permintaannya, untuk bayar di akhir bulan saat gajian.

Diantara tangisannya, ia tiba-tiba mendapatkan ide. Ia mencari alkohol yang ada di rumahnya, sebilah pisau dapur, dan sepotong kain. Setelah pisau dapur dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil sekerat daging dari pahanya. Agar tidak membangunkan anaknya yang sedang tidur, ia mengikat mulutnya dengan sepotong kain. Darah berhamburan. Sang ibu tengah berjuang mengambil dagingnya sendiri, sambil berusaha tidak mengeluarkan suara kesakitan yang teramat sangat..

Hujan lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan rintihan kesakitan sang ibu tidak terdengar oleh para tetangga, terutama oleh anaknya sendiri. Tampaknya langit juga tersentuh dengan pengorbanan yang sedang dilakukan oleh sang ibu.

Enam tahun telah berlalu, anaknya tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, cerdas, dan berbudi pekerti. Ia juga sangat sayang ibunya. Di hari minggu, mereka sering pergi ke taman di desa tersebut, bermain bersama, dan bersama-sama menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau” (terjemahannya “Di dunia ini, hanya ibu seorang yang baik”).

Sang anak juga sudah sekolah. Sang ibu sekarang bekerja sebagai penjaga toko, karena ia sudah bisa meninggalkan anaknya di siang hari. Hari-hari mereka lewatkan dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan. Sang anak terkadang memaksa ibunya, agar ia bisa membantu ibunya menyuci di malam hari. Ia tahu ibunya masih menyuci di malam hari, karena perlu tambahan biaya untuk sekolahnya. Ia memang seorang anak yang cerdas.

Ia juga tahu, bulan depan adalah hari ulang tahun ibunya. Ia berniat membelikan sebuah jam tangan, yang sangat didambakan ibunya selama ini. Ibunya pernah mencobanya di sebuah toko, tetapi segera menolak setelah pemilik toko menyebutkan harganya. Jam tangan itu sederhana, tidak terlalu mewah, tetapi bagi mereka, itu terlalu mahal. Masih banyak keperluan lain yang perlu dibiayai.

Sang anak segera pergi ke toko tersebut, yang tidak jauh dari rumahnya. Ia meminta kepada kakek pemilik toko agar menyimpan jam tangan tersebut, karena ia akan membelinya bulan depan.

“Apakah kamu punya uang?” tanya sang pemilik toko.

“Tidak sekarang, nanti saya akan punya”, kata sang anak dengan serius.

Ternyata, bulan depan sang anak benar-benar muncul untuk membeli jam tangan tersebut. Sang kakek juga terkejut, kiranya sang anak hanya main-main. Ketika menyerahkan uangnya, sang kakek bertanya “Dari mana kamu mendapatkan uang itu? Bukan mencuri kan?”.

“Saya tidak mencuri, kakek. Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Saya biasanya naik becak pulang pergi ke sekolah. Selama sebulan ini, saya berjalan kaki saat pulang dari sekolah ke rumah, uang jajan dan uang becaknya saya simpan untuk beli jam ini. Kakiku sakit, tapi ini semua untuk ibuku. O ya, jangan beritahu ibuku tentang hal ini. Ia akan marah” kata sang anak.

Sang pemilik toko tampak kagum pada anak tersebut.

Seperti biasanya, sang ibu pulang dari kerja di sore hari. Sang anak segera memberikan ucapan selamat pada ibu, dan menyerahkan jam tangan tersebut. Sang ibu terkejut bercampur haru, ia bangga dengan anaknya. Jam tangan ini memang adalah impiannya. Tetapi sang ibu tiba-tiba tersadar, dari mana uang untuk membeli jam tersebut. Sang anak tutup mulut, tidak mau menjawab.

“Apakah kamu mencuri, Nak?” Sang anak diam seribu bahasa, ia tidak ingin ibu mengetahui bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah ditanya berkali-kali tanpa jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa anaknya telah mencuri.

“Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri. Bukankah ibu sudah mengajari kamu tentang hal ini?” kata sang ibu.

Lalu ibu mengambil rotan dan mulai memukul anaknya. Biarpun ibu sayang pada anaknya, ia harus mendidik anaknya sejak kecil. Sang anak menangis, sedangkan air mata sang ibu mengalir keluar. Hatinya begitu perih, karena ia sedang memukul belahan hatinya. Tetapi ia harus melakukannya, demi kebaikan anaknya.

Suara tangisan sang anak terdengar keluar. Para tetangga menuju ke rumah tersebut heran, dan kemudian prihatin setelah mengetahui kejadiannya.

“Ia sebenarnya anak yang baik”, kata salah satu tetangganya. Kebetulan sekali, sang pemilik toko sedang berkunjung ke rumah salah satu tetangganya yang merupakan familinya.

Ketika ia keluar melihat ke rumah itu, ia segera mengenal anak itu. Ketika mengetahui persoalannya, ia segera menghampiri ibu itu untuk menjelaskan. Tetapi tiba-tiba sang anak berlari ke arah pemilik toko, memohon agar jangan menceritakan yang sebenarnya pada ibunya.

“Nak, ketahuilah, anak yang baik tidak boleh berbohong, dan tidak boleh menyembunyikan sesuatu dari ibunya”. Sang anak mengikuti nasehat kakek itu. Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang anak tiba-tiba muncul di tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan jam tangan tersebut, dan sebulan kemudian akan membelinya.

Anak itu muncul siang tadi di tokonya, katanya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya. Ia juga menceritakan bagaimana sang anak berjalan kaki dari sekolahnya pulang ke rumah dan tidak jajan di sekolah selama sebulan ini, untuk mengumpulkan uang membeli jam tangan kesukaan ibunya.

Tampak sang kakek meneteskan air mata saat selesai menjelaskan hal tersebut, begitu pula dengan tetangganya. Sang ibu segera memeluk anak kesayangannya, keduanya menangis dengan tersedu-sedu.

”Maafkan ibu, Nak.”

“Tidak Bu, saya yang bersalah”..

Sementara itu, ternyata ayah dari sang anak sudah menikah, tetapi istrinya mandul. Mereka tidak punya anak. Sang ortu sangat sedih akan hal ini, karena tidak akan ada yang mewarisi usaha mereka kelak.

Ketika sang ibu dan anaknya berjalan-jalan ke kota, dalam sebuah kesempatan, mereka bertemu dengan sang ayah dan istrinya. Sang ayah baru menyadari bahwa sebenarnya ia sudah punya anak dari darah dagingnya sendiri. Ia mengajak mereka berkunjung ke rumahnya, bersedia menanggung semua biaya hidup mereka, tetapi sang ibu menolak. Kami bisa hidup dengan baik tanpa bantuanmu.

Berita ini segera diketahui oleh orang tua sang pria. Mereka begitu ingin melihat cucunya, tetapi sang ibu tidak mau mengizinkan.

Di pertengahan tahun, penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter mengatakan bahwa penyakit sang anak butuh operasi dan perawatan yang konsisten. Kalau kambuh lagi, akan membahayakan jiwanya.

Keuangan sang ibu sudah agak membaik, dibandingkan sebelumnya. Tetapi biaya medis tidaklah murah, ia tidak sanggup membiayainya.

Sang ibu kembali berpikir keras. Tetapi ia tidak menemukan solusi yang tepat. Satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan anaknya kepada sang ayah, karena sang ayahlah yang mampu membiayai perawatannya.

Maka di hari Minggu ini, sang ibu kembali mengajak anaknya berkeliling kota, bermain-main di taman kesukaan mereka. Mereka gembira sekali, menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau”, lagu kesayangan mereka. Untuk sejenak, sang ibu melupakan semua penderitaannya, ia hanyut dalam kegembiraan bersama sang anak.

Sepulang ke rumah, ibu menjelaskan keadaannya pada sang anak. Sang anak menolak untuk tinggal bersama ayahnya, karena ia hanya ingin dengan ibu.

“Tetapi ibu tidak mampu membiayai perawatan kamu, Nak” kata ibu.

“Tidak apa-apa Bu, saya tidak perlu dirawat. Saya sudah sehat, bila bisa bersama-sama dengan ibu. Bila sudah besar nanti, saya akan cari banyak uang untuk biaya perawatan saya dan untuk ibu. Nanti, ibu tidak perlu bekerja lagi, Bu”, kata sang anak. Tetapi ibu memaksa akan berkunjung ke rumah sang ayah keesokan harinya. Penyakitnya memang bisa kambuh setiap saat.

Disana ia diperkenalkan dengan kakek dan neneknya.

Keduanya sangat senang melihat anak imut tersebut. Ketika ibunya hendak pulang, sang anak meronta-ronta ingin ikut pulang dengan ibunya. Walaupun diberikan mainan kesukaan sang anak, yang tidak pernah ia peroleh saat bersama ibunya, sang anak menolak.

“Saya ingin Ibu, saya tidak mau mainan itu”, teriak sang anak dengan nada yang polos.

Dengan hati sedih dan menangis, sang ibu berkata “Nak, kamu harus dengar nasehat ibu. Tinggallah di sini. Ayah, kakek dan nenek akan bermain bersamamu.”

“Tidak, aku tidak mau mereka. Saya hanya mau ibu, saya sayang ibu, bukankah ibu juga sayang saya? Ibu sekarang tidak mau saya lagi”, sang anak mulai menangis.

Bujukan demi bujukan ibunya untuk tinggal di rumah besar tersebut tidak didengarkan anak kecil tersebut. Sang anak menangis tersedu-sedu

“Kalau ibu sayang padaku, bawalah saya pergi, Bu”

Sampai pada akhirnya, ibunya memaksa dengan mengatakan “Benar, ibu tidak sayang kamu lagi. Tinggallah disini”, ibunya segera lari keluar meninggalkan rumah tersebut. Tampak anaknya meronta-ronta dengan ledakan tangis yang memilukan.

Di rumah, sang ibu kembali meratapi nasibnya. Tangisannya begitu menyayat hati, ia telah berpisah dengan anaknya. Ia tidak diperbolehkan menjenguk anaknya, tetapi mereka berjanji akan merawat anaknya dengan baik. Diantara isak tangisnya, ia tidak menemukan arti hidup ini lagi. Ia telah kehilangan satu-satunya alasan untuk hidup, anaknya tercinta.

Kemudian ibu yang malang itu mengambil pisau dapur untuk memotong urat nadinya. Tetapi saat akan dilakukan, ia sadar bahwa anaknya mungkin tidak akan diperlakukan dengan baik. Tidak, ia harus hidup untuk mengetahui bahwa anaknya diperlakukan dengan baik. Segera, niat bunuh diri itu dibatalkan, demi anaknya juga ..

Setahun berlalu. Sang ibu telah pindah ke tempat lain, mendapatkan kerja yang lebih baik lagi. Sang anak telah sehat, walaupun tetap menjalani perawatan medis secara rutin setiap bulan.

Seperti biasa, sang anak ingat akan hari ulang tahun ibunya. Uang pun dapat ia peroleh dengan mudah, tanpa perlu bersusah payah mengumpulkannya. Maka, pada hari tersebut, sepulang dari sekolah, ia tidak pulang ke rumah, ia segera naik bus menuju ke desa tempat tinggal ibunya, yang memakan waktu beberapa jam. Sang anak telah mempersiapkan setangkai bunga, sepucuk surat yang menyatakan ia setiap hari merindukan ibu, sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun, dan nilai ujian yang sangat bagus. Ia akan memberikan semuanya untuk ibu.

Sang anak berlari riang gembira melewati gang-gang kecil menuju rumahnya. Tetapi ketika sampai di rumah, ia mendapati rumah ini telah kosong. Tetangga mengatakan ibunya telah pindah, dan tidak ada yang tahu kemana ibunya pergi. Sang anak tidak tahu harus berbuat apa, ia duduk di depan rumah tersebut, menangis “Ibu benar-benar tidak menginginkan saya lagi.”

Sementara itu, keluarga sang ayah begitu cemas, ketika sang anak sudah terlambat pulang ke rumah selama lebih dari 3 jam. Guru sekolah mengatakan semuanya sudah pulang. Semua tempat sudah dicari, tetapi tidak ada kabar. Mereka panik. Sang ayah menelpon ibunya, yang juga sangat terkejut. Polisi pun dihubungi untuk melaporkan anak hilang.

Ketika sang ibu sedang berpikir keras, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk sampai melupakannya. Anaknya mungkin pulang ke rumah. Maka sang ayah dan sang ibu segera naik mobil menuju rumah tersebut. Sayangnya, mereka hanya menemukan kartu ulang tahun, setangkai bunga, nilai ujian yang bagus, dan sepucuk surat anaknya. Sang ibu tidak mampu menahan tangisannya, saat membaca tulisan-tulisan imut anaknya dalam surat itu.

Hari mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar desa tersebut, tanpa mendapatkan petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah. Kemudian sang ibu membakar dupa, berlutut di hadapan altar Dewi Kuan Im, sambil menangis ia memohon agar bisa menemukan anaknya.

Seperti mendapat petunjuk, sang ibu tiba-tiba ingat bahwa ia dan anaknya pernah pergi ke sebuah kuil Kuan Im di desa tersebut. Ibunya pernah berkata, bahwa bila kamu memerlukan pertolongan, mohonlah kepada Dewi Kuan Im yang welas asih. Dewi Kuan Im pasti akan menolongmu, jika niat kamu baik. Ibunya memprediksikan bahwa anaknya mungkin pergi ke kuil tersebut untuk memohon agar bisa bertemu dengan dirinya.

Benar saja, ternyata sang anak berada di sana. Tetapi ia pingsan, demamnya tinggi sekali. Sang ayah segera menggendong anaknya untuk dilarikan ke rumah sakit. Saat menuruni tangga kuil, sang ibu terjatuh dari tangga, dan berguling-guling jatuh ke bawah..

Sepuluh tahun sudah berlalu. Kini sang anak sudah memasuki bangku kuliah. Ia sering beradu mulut dengan ayah, mengenai persoalan ibunya. Sejak jatuh dari tangga, ibunya tidak pernah ditemukan. Sang anak telah banyak menghabiskan uang untuk mencari ibunya kemana-mana, tetapi hasilnya nihil.

Siang itu, seperti biasa sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama dengan teman wanitanya. Mereka tampak serasi. Saat melaju dengan mobil, di persimpangan sebuah jalan, ia melihat seorang wanita tua yang sedang mengemis. Ibu tersebut terlihat kumuh, dan tampak memakai tongkat. Ia tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya. Wajahnya kumal, dan ia tampak berkomat-kamit.

Di dorong rasa ingin tahu, ia menghentikan mobilnya, dan turun bersama pacar untuk menghampiri pengemis tua itu.

Ternyata sang pengemis tua sambil mengacungkan kaleng kosong untuk minta sedekah, ia berucap dengan lemah “Dimanakah anakku? Apakah kalian melihat anakku?”

Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa disadari, ia segera menyanyikan lagu “Shi Sang Ci You Mama Hau” dengan suara perlahan, tak disangka sang pengemis tua ikut menyanyikannya dengan suara lemah. Mereka berdua menyanyi bersama. Ia segera mengenal suara ibunya yang selalu menyanyikan lagu tersebut saat ia kecil, sang anak segera memeluk pengemis tua itu dan berteriak dengan haru “Ibu? Ini saya ibu”.

Sang pengemis tua itu terkejut, ia meraba-raba muka sang anak, lalu bertanya, “Apakah kamu ?..(nama anak itu)?”

“Benar bu, saya adalah anak ibu”.

Keduanya pun berpelukan dengan erat, air mata keduanya berbaur membasahi bumi.

Karena jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur kepalanya menjadi hilang ingatan, tetapi ia setiap hari selama sepuluh tahun terus mencari anaknya, tanpa peduli dengan keadaaan dirinya. Sebagian orang menganggapnya sebagai orang gila.

Sebuah renungan...
source SpiritualReflections

Stress Management

Aslinya sih stress management ntu sebuah paket mengelola stress yang pernah gw ikutin delapan tahun yang lalu. Waktu ntu gw masih duduk di bangku sekolahan. Lagi iseng baca mading (majalah yang nemplok di dinding) tiba2 mata gw tertuju ke sebuah pengumuman: Kelas Stress Management..., tanpa banyak cerita gw langsung daftar.

Hari pertama,
Latihan yang pertama gw pelajari adalah latihan bernafas
Ada 4 cara bernafas, nafas dada yang biasa kita lakukan, keliatan dari dada yang terangkat waktu narik nafas, nafas ini cenderung pendek. kedua, nafas perut; tarik nafas dalam2 perut mengembung dan buang nafas perlahan perut mengempis, kalo kita peratiin bayi itu nafas pake gaya yang kedua ni. Ketiga, nafas diafragma, nah yg ini gw ga ngerti. Terakhir ada nafas bahu; ketika narik nafas bahu yang terangkat. OK, dalam latihan hari pertama ini fokus pada cara bernafas paling baik; nafas perut.

Prakteknya, lakukan nafas perut selama paling kurang 10 (sepuluh) menit setiap hari. Ada baiknya minum air putih 2 liter sehari. Kedua hal ini akan memperbaiki kinerja organ2 tubuh kita, melancarkan aliran darah, menambah kapasitas o2 dalam darah. Coba bayangin, Oksigen dalam darah yang maksimal dan aliran darah yang juga maksimal, hasilnya adalah badan yang segar bugar. Karena suplai o2 ke seluruh organ cukup dan lancar. Banyak penyakit yang disebabkan karena aliran darah yang ga lancar (baik karena terlalu kental atau kadar o2 yang kurang). So, kerjakan. Matikan lampu atau tutup jendela agar cahaya dari luar ga masuk, cahaya yang masuk ke mata akan mengaktifkan kerja otak kita. Latihan ini dilakukan dalam keadaan mata tertutup. Duduk santai bersila atau di kursi, sambil sebelumnya menyetel musik bertempo lembut/pelan. Disarankan musik2 meditasi. Tarik nafas dalam2 alirkan ke perut dan perut akan mengembang, lalu pelan2 buang nafas sehingga perut kembali mengempis. Menarik dan membuang nafas lewat hidung. Kalau ada fikiran yang muncul, biarkan saja. Nanti juga hilang. Tapi juga jangan konsentrasi, karena konsentrasi itu juga mengaktifkan kerja otak. Latihan ini gunanya untuk memperlambat kerja otak sehingga berada pada gelombang paling tenang. Awalnya memang akan sulit, tapi masak kalo dikerjain tiap hari ga berhasil, pasti berhasil! rasakan aja hangatnya membuang nafas dan sejuknya menarik nafas.... OK? Just ten minutes every day, abis 3 bulan bedakan rasanya.

Lebih baik lagi latihan ini dilakukan pada pagi dan/atau sore hari, karena ini suasana hari yang paling tenang. Just do it!

Hari kedua.
to be continued setelah proses revitalisasi... (maksudnya nggak afdol kalo gw juga ga ngelakonin... )